AGEN DOMINO
Cerita Dewasa / Cerita Sex / Cerita ABG / Cerita Dewasa Hot / Cerita Dewasa SMA / Kumpulan Cerita Dewasa
Waktu itu aku masih kelas dua, di salah satu SMA Negeri di Bandung. Aku
termasuk salah satu siswa dengan segudang kegiatan. Dari mulai aktif di
OSIS, musik, olah raga, sampai aktif dalam hal berganti-ganti pacar. Tapi satu hal yang belum pernah kulakukan saat itu hubungan kelamin
Sering kali aku berkhayal sedang berhubungan badan dengan salah satu
wanita yang pernah menjadi pacarku. Tapi aku tidak punya keberanian
untuk meminta, mengajak ataupun melakukan itu.
Mungkin karena cerita sahabatku yang terpaksa menikah karena telah
menghamili pacarnya dan sekarang hidupnya hancur lebur. Itu mungkin yang
bikin kutakut, setengah mati. Tapi aku menyukai rasa takut itu,
bukankah rasa takut itu yang bisa menjauhkan aku dari perbuatan dosa.
Pada suatu saat, datang gerombolan guru praktek dari IKIP Bandung
yang akan menggantikan guru kami untuk beberapa minggu. Salah satu dari
guru praktek itu bernama Lisa. Dia orangnya cantik, ah bukan… bukan
cantik… tapi dia sempurna. Peduli setan dengan matematika yang
diajarkannya, aku hanya ingin menikmati wajahnya, memeluk tubuhnya yang
tinggi semampai, mengecup bibirnya, dan… aku pun berkhayal sangat jauh,
tapi semua itu tidak mungkin. Dengan pacarku yang seumur denganku saja,
aku tidak berani, apalagi dengan Lisa.
Singkat cerita, aku melaju dengan motorku. Hari sudah sore aku harus
cepat-cepat sampai di rumah. Dalam perjalanan kulihat bu Lisa. Aku
memberanikan diri berhenti dan menghampirinya. Setelah sedikit
berbasa-basi dia bercerita bahwa dirinya baru saja pindah kost dan
tempat kost yang sekarang letaknya tepat di tengah-tengah antara
sekolahku dengan rumahnya. Sehingga setiap sore aku mengantarkannya ke
tempat kost-nya. Kejadian itu berlangsung setiap hari selama 1 minggu
lebih. Kami berdua mulai akrab, bahkan nantinya terlalu akrab.
Seperti biasanya, aku mengantarkan Ibu Lisa pulang ke kost-nya.
Anehnya saat itu, dia tidak ingin langsung pulang tapi mengajakku
jalan-jalan di pertokoan di daerah Alun-Alun Bandung. Setelah puas kami
pun pulang menuju ke kost Ibu Lisa.
“Jangan pulang dulu, dong!” Ibu Lisa menahanku, tapi memang inilah yang selama ini kuharapkan.
“Udah malam Bu, takut entar dimarahi…” Perkataanku terhenti melihat dia menempelkan jari telunjuknya ke bibirnya yang kecil.
“Udah malam Bu, takut entar dimarahi…” Perkataanku terhenti melihat dia menempelkan jari telunjuknya ke bibirnya yang kecil.
“Jangan panggil aku Ibu Lisa, coba tebak berapa umurku?” ternyata umurnya terpaut 5 tahun dengan umurku yang saat itu 17 tahun.
“Panggil aku Lisa.” Aku hanya menganggukkan kepalaku.
“Sini yuk, aku punya baju baru yang akan aku pamerkan kepadamu.”
Ditariknya tanganku menuju kamarnya, jantungku mulai berdetak kencang.
Sesampainya di kamar, dia menyuruhku duduk di depan televisi yang
memperlihatkan pahlawan kesayanganku, McGyver. Lisa kemudian menghampiri
lemari pakaian di samping televisi.
“Aku punya 3 buah baju baru, coba kamu nilai mana yang paling bagus.”
Kujawab dengan singkat, “OK!” lalu kembali aku menonton McGyver
kesayanganku. Walaupun mataku tertuju ke pesawat televisi, tapi aku
dapat melihat dengan jelas betapa dia dengan santainya membuka baju
seragam kuliahnya, jantungku berdebar keras. Lisa hanya menyisakan BH
berwarna hitam dan celana dalam hitam. Dia melakukan gerakan seolah
sedang mencari pakaian di tumpukan bajunya yang tersusun rapih di dalam
lemari.
“Aku tidak bisa menemukan baju baruku, kemana ya?” Aku hanya terdiam
pura-pura menonton TV, tapi pikiranku tertuju kepada belahan pantat yang
hanya tertutup kain tipis.
Sesekali dia membalikkan tubuhnya sehingga aku bisa melihat dua buah
benda yang menggunung di balik BH-nya. Akhirnya dia mengenakan gaun
tidur berwarna pink yang sangat tipis, Lalu dia menghampiriku, dan kami
berdua duduk berhadapan.
“Kamu kenapa, kok pucat”, aku terdiam.
“Kamu takut ya?” Aku tetap terdiam.
“Aku tau kamu suka aku.” Aku terdiam.
“Hey, ngomong dong.” Aku tetap terdiam.
“Kamu takut ya?” Aku tetap terdiam.
“Aku tau kamu suka aku.” Aku terdiam.
“Hey, ngomong dong.” Aku tetap terdiam.
Dalam kediamanku selama itu aku menyimpan sesuatu di dadaku yang
berdetak sangat kencang dan keras serasa ingin meledak ketika dia
menempelkan bibir mungilnya ke bibirku. Dia melumat bibirku, sedikit
buas tapi mesra. Aku mulai memberanikan diri untuk membalasnya.
Kugerakkan bibirku dan kulumat kembali bibirnya. Tak lama kemudian,
telapak tangan lisa yang hangat meraih pergelangan tanganku. Dibawanya
tanganku ke arah buah dadanya. Jantungku saat itu sangat tidak karuan.
Kuremas buah dadanya yang tidak terlalu besar tapi tidak juga terlalu
kecil, tapi aku dapat merasakan betapa kencangnya kedua gunung surga
itu. Lidah kami pun mulai bermain.
Tiba-tiba dia mendorongku, terus mendorongku sehingga aku telentang
di atas karpet kamarnya. Aku hanya menurut dan tak bergerak. Lisa
membuka baju tidurnya yang tipis. Kali ini dia tidak berhenti ketika
hanya BH dan CD-nya saja yang melekat di tubuhnya, tapi BH-nya kemudian
terjatuh ke karpet. Belum sempat aku bergerak, Lisa menjatuhkan tubuhnya
di atas tubuhku, buah dadanya yang sangat keras menindih dadaku.
“Kamu suka, ya?” aku mengangguk.
Aku tak kuasa menahan diri, ketika aku mengangkat kepalaku untuk melumat bibirnya kembali, dia menahan kepalaku, aku heran.
“Ke.. ke… kenapa Lis?” kataku terbata-bata.
AGEN DOMINO
Dia hanya tersenyum, lalu dengan santainya dia memanjat turun
tubuhku. Aku hanya terdiam, aku tidak berani bergerak. Aku bagaikan
seorang prajurit yang hanya bergerak berdasarkan komando dari Lisa. Dia
mulai membelai pahaku dan sedikit mempermainkan selangkanganku. Sesekali
dia menciumi celana seragam abu-abuku tepat pada bagian batang
kejantananku. Aku memejamkan mata, aku pasrah,
“Aku… aku… ah…!”
Aku membiarkannya, ketika Lisa mulai membuka celana seragamku, mulai
dari ikat pinggangku dan berlanjut dengan menyingkapkan CD-ku. Dia
meraih batang kemaluanku dengan mesranya.
“Ah… crot… crot… crot…!” Aku tak kuasa menahan diriku ketika bibirnya yang mungil menyentuh kepala kemaluanku.
Aku malu, malu setengah mati.
“Tenang, itu biasa kok.”
Senyumnya membuat rasa maluku hilang, senyum dari wajah sang bidadari itu membuat keberanianku muncul,
Aku menarik kepalanya dan membalikkan tubuhku, sehingga aku berada
tepat di atasnya. Dia sedikit kaget, tapi hal itu membuat aku suka dan
makin berani. Aku beranjak ke bawah, kubuka CD-nya. Saat itu yang ada
dipikiranku hanya satu, aku harus mencontoh film-film biru yang pernah
kutonton.
“Kamu mulai nakal, ya.”
“Ibu guru tidak suka.”
“Ibu guru tidak suka.”
Aku tak memperdulikan candanya. Kuturunkan CD-nya perlahan, kulihat
sekilas rumput kecil yang menutupi celah surganya. Seketika kucumbu dan
kumainkan lidahku di celah surga itu. Tangan kananku terus menarik
CD-nya sampai ke ujung kakinya dan kulempar entah jatuh di mana. Aku
menghentikan sejenak permainan lidahku, kuangkat pinggul yang indah itu
dan kugendong dia menuju ke tempat tidur yang terletak tepat di belakang
kami berdua.
Kuletakkan tubuh semampai dengan tinggi 173cm itu tepat di pinggir
tempat tidur. Aku kemudian berjongkok, dan kembali memainkan lidahku di
sekitar celah surganya, bahkan aku berhasil menemukan batu kecil di
antara celah itu yang setiap kutempelkan lidahku dia selalu mengerang,
mendesah, bahkan berteriak kecil.
Tangan kiriku ikut bermain bersama lidahku, dan tangan kananku
membersihkan sisa air mani yang baru saja keluar. Wow… batang
kejantananku sudah keras lagi. Ketika aku sedang asyik bermain di celah
surganya, dia menarik kepalaku.
“Buka celana kamu, semuanya…!” Aku menurut dan kembali menindih tubuhnya.
Setelah kepala kami berdekatan dia mencium bibirku sekali dan
kemudian dia tersenyum, hanya saat itu matanya sudah sayu, tidak lagi
bulat penuh dengan cahaya yang sangat menyilaukan.
Dia mengangkat kepalanya disertai tangan kananya meraih batangku dan
mengarahkannya ke lubang kemaluannya. Tapi ketika batangku menyentuh
bibir lubang kemaluannya,
“Crot… cret… creeett…!” Kembali aku meraih puncakku, dia pun tersenyum.
Hanya saat itu aku tidak lagi malu, yang ada dipikiranku hanyalah aku
ingin bisa memuaskannya sebelum orgasmeku yang ketiga. Aku heran
setelah orgasme yang pertama ini batang kejantananku tidak lagi lemas,
kubiarkan Lisa mengocok-ngocok batanganku, dengan hanya melihat garis
wajah milik sang bidadari di depanku dan juga membelai rambutnya yang
hitam legam, aku kembali bernafsu.
“Pelan-pelan aja tidak usah takut.” Dia berbisik dan tersenyum padaku.
Tak karuan perasaanku saat itu, apalagi ketika kepala kemaluanku
dioles-oleskannya ke bibir kemaluannya. Tangannya yang kecil mungil itu
akhirnya menarik batang kemaluanku dan membimbingnya untuk memasuki
lubang kewanitaannya.
“Bles… sss… sek!” Batangku sudah seratus persen tertanam di lubang surganya.
Rasa percaya diriku semakin meningkat ketika aku menyadari bahwa aku
tidak lagi mengalami orgasme. Aku mulai menarik pinggulku sehingga
kemaluanku tertarik keluar dan membenamkannya lagi, terus menerus
berulang. Keluar, masuk, keluar, masuk, keluar, masuk begitu seterusnya.
“Oh Dig…!” Dia mulai memanggil nama akrabku, aku dipanggil Jedig oleh sahabat-sahabatku.
Selama ini Lisa hanya memanggil nama asliku seperti yang tertera di dalam absen kelasku.
“Dig, terus… kamu mulai pintar…” Aku tak peduli, aku terus bergerak naik turun.
Aku merasakan batang kemaluanku yang basah oleh cairan dari lubang
surga milik Lisa. Naik dan turun hanya itu yang kulakukan. Sesekali aku
mencium bibirnya, sesekali tanganku mempermainkan bibir dan buah
dadanya.
“Ah… ah… ah, ah… oh!” Nafasnya memburu.
“Ah Dig… ah… ah… ooowww!” Dia berteriak kecil, matanya sedikit melotot dan kemudian dia kembali tersenyum.
“Ah Dig… ah… ah… ooowww!” Dia berteriak kecil, matanya sedikit melotot dan kemudian dia kembali tersenyum.
Aku terdiam sejenak, aku heran kenapa dia melakukan itu. Yang
kuingat, saat itu batang kemaluanku serasa disiram oleh cairan hangat
ketika masih ada di dalam lubang kemaluannya. “Ntar dulu ya Jedig
Sayang.” Dia mengangkat tubuhnya sehingga kemaluanku terlepas, aku
menahan tubuhnya. Aku tak ingin kemaluanku terlepas aku masih ingin
terus bermain.
“Eit… sabar dong, kita belum selesai kok.” Kulihat dirinya memutar tubuhnya kemudian nungging di depan mataku.
Aku sangat mengerti apa yang harus kulakukan, ya… seperti di film-film itu.
Aku mendekatinya dengan batang kemaluanku yang sudah siap menghunus
lubang kemaluannya. Aku mencoba memasukannya, tapi aku mengalami
kesulitan. Satu, dua, ya dua kali aku gagal memasukan batangku. Akhirnya
dia menggunakan tangan mungilnya untuk membimbing batangku.
“Blesss…” Batangku masuk dengan perlahan. Berbeda dengan tadi, sekarang aku tidak lagi naik turun tetapi maju mundur.
Kami berdua mendesah. Nafas kami saling memburu. Terus dan terus lagi.
“Ah… oh… uh… terus Dig…, ah… oooww!” Kembali dia berteriak kecil,
saat ini aku mengerti, setiap kali dia berteriak pasti kemudian dia
merubah posisinya.
Benar saja posisi kami kembali seperti posisi awal. Dia telentang di
bawah dan aku menindihnya di atas. Aku tidak lagi memerlukan tangan
mungilnya untuk membimbingku. Aku sudah bisa memasukan batang kemaluanku
sendiri tepat menuju lubang surga yang sesekali beraroma harum bunga
itu.
Kembali aku melakukan naik dan turun. Kali ini aku menjadi siswa yang
benar-benar aktif, tidak hanya di sekolah tapi di ranjang. Kuangkat
kaki kanannya, kujilati betisnya yang tanpa cacat itu sambil terus
menggerakan pinggulku.
Beberapa saat kemudian, aku merasakan darahku mengalir dengan keras,
ada sesuatu di dalam tubuhku yang siap untuk meledak. Gerakanku semakin
kencang, cepat, dan tidak teratur.
“Terus Dig, lebih cepat lagi… terus lebih cepat lagi Dig, terus.”
Gerakanku semakin cepat. Kami berdua sudah seperti kuda liar yang
saling kejar-mengejar sehingga terdengar suara nafas yang keras dan
saling sambut menyambut.
“Terus Dig, terus… ah… uh… oh…!”
“Oban sayang… ah… dig… dig… dig… aaoowww!”
“Oban sayang… ah… dig… dig… dig… aaoowww!”
Saat ini teriakannya sangat keras dan kulihat matanya sedikit melotot
dan giginya terkatup dengan sangat keras. Kemudian dia terjatuh.
“Dig cepetan ya sayang…!”
“Aku capek.”
“Aku capek.”
Aku tak bisa berhenti menggerakan tubuhku, sepertinya ada suatu kekuatan yang mendorong dan menarik pinggulku.
“Ah… oh… Ufff… aaah…!”
“Crot… cret… cret…!”
“Crot… cret… cret…!”
Muncratlah air kenikmatan itu dari tubuhku. Aku terjatuh di
sampingnya, aku puas! Dia tersenyum padaku dan memelukku, dia menaruh
kepalanya di dadaku. Setelah mengecup bibirku kami berdua pun tertidur
pulas.
Beberapa bulan setelah percintaanku dengan Ibu Lisa… Perpisahaan pun
dimulai, setelah aku memainkan beberapa lagu di panggung perpisahaan
untuk menandakan berakhirnya masa kerja praktek mahasiswa-mahasiswa IKIP
di sekolahku. Kulihat mereka menaiki bus bertuliskan IKIP di
pinggirnya. Aku mencari Lisa, bidadari yang merenggut keperjakaanku.
“Lisa… hey…!” Lisa menengok dan matanya melotot.
“Ups… Ibu Lisa!” Aku lupa, dia kan guruku.
“Sampai ketemu lagi ya, jangan lupa belajar!” sambil menaiki tangga bus dia menyerahkan surat padaku.
“Ups… Ibu Lisa!” Aku lupa, dia kan guruku.
“Sampai ketemu lagi ya, jangan lupa belajar!” sambil menaiki tangga bus dia menyerahkan surat padaku.
Aku langsung membaca dan tak mengerti apa maksud dari tulisan itu.
Akhirnya bus itu pergi dan saat itulah saat terakhir aku melihatnya.
Aku tak akan pernah lupa walaupun hanya sekali aku melakukannya dengan
Lisa. Tapi itu sangat berbekas. Aku selalu merindukannya. Bahkan aku
selalu berkhayal aku ada di dekat dia setiap aku dekat dengan perempuan.
Sekarang ketika aku sudah duduk di bangku kuliah aku baru mengerti apa
arti dari surat Lisa.
No comments:
Post a Comment